Ialah Sayyidah Quraisy Ath-Thahirah, Khadijah Binti Khuwailid, perempuan yang mampu menenangkan Rasulullah SWT, suaminya, dengan nasihat, "Jangan takut, demi Allah, Tuhan tidak akan membinasakan engkau. Engkau selalu menyambung tali silaturahim, membantu orang yang sengsara, mengusahakan keperluan orang lain, memuliakan tamu, dan menolong orang yang kesusahan karena menegakkan kebenaran".
Sejak saat itulah sejarah dakwah pertama kali dimulai dan hayatilah bahwa ia ditulis dengan adanya peran perempuan. Wanita-wanita pada zaman Nabi termasuk istrinya sangat berperan dalam membantu perjuangan dakwah Rasul yaitu menegakkan agama Islam. Maka selaku muslimah yang sangat merindukan kejayaan Islam harusnya meneladani mereka dengan memiliki semangat juang yang tinggi dalam mengemban amanat dan tanggungjawab.
Baiklah untuk kutipan mutiara hari ini akan saya ambil dari buku "Menyongsong Mihwar Daulah" pada Bab: Peran Akhwat Muslimah dalam Dakwah. Dalam pembahasan kali ini, saya akan mengulas peran-peran akhwat muslimah pada zaman Keemasan Islam dan dalam Gerakan Dakwah Modern sekarang ini.

seperempat dari masyarakat Islam periode siriyah terdiri dari kaum perempuan. Sebagian besar dari para pemuda yang sudah berkeluarga, istri-istri mereka juga masuk Islam. Kaum perempuan hidup di periode siriyah tanpa diketahui keislamannya oleh masyarakat di luar Islam. kita harus memberikan perhatian kepada peranan kaum perempuan dalam perjalanan dakwah sebagaimana mestinya, baik sebagai saudara, istri atau ibu yang mendampingi kaum lelaki.
Tampak adanya sentuhan khusus yang Allah berikan kepada para akhwat Muslimah dalam pelaksanaan dakwah dalam konteks kebersamaan dengan kaum muslimin. Keterlibatan para akhwat muslimah ada dalam seluruh mihwar dakwah, bukan hanya dalam satu mihwar tertentu. Jika kita perhatikan dari nash-nash Al Qur'an dan As Sunnah, tampaklah sebuah keteraturan sebuah sunnah keseimbangan yang Allah tampakkan lewat penciptaan laki-laki dan perempuan. Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dari asal yang satu, sebagaima Allah berfirman:
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan darinya Allah menciptakan istri-istrinya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak..." (An Nisa: 1)
dan tanggungjawab kemanusiaan mereka sama di hadapan Allah, tak ada pembedaan lantaran potensi keperempuanan dan kelelakian.
"Adapun orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain" (At Taubah: 72)
mereka saling tolong menolong, saling melengkapi, sehingga terjaga keseimbangan peran di muka bumi ini. Balasan bagi mereka juga sama:
"Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia beriman maka mereka itu masuk surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit" (An Nisa: 124)
dihadapan Allah Ta'ala, perempuan dan laki-laki memiliki derajat yang sama, pembedaannya hanya terletak pada kualitas takwa masing-masing. Maka tak layak bagi setiap individu untuk memiliki persepsi negatif terhadap pihak lainnya.
"Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak daripada sebagian yang lain. Bagi laki-laki ada bagian yang mereka usahakan dan bagi perempuan juga ada bagian dari apa yang mereka usahakan" (An Nisa: 32).
Demikianlah pemahaman dasar tentang realitas laki-laki dan perempuan. Mereka memiliki nilai kemanusiaan dan tanggungjawab yang sama, sekalipun ada beberapa perbedaan dalam beban tasyri'.
Seperti janji saya sebelumnya, saya akan mengulas tentang peran akhwat muslimah d zaman Keemasan Islam dan dalam Gerakan Dakwah Modern sekang ini, denga tetap mengutip mutiara-mutiara tersebut dari buku keren versi hari ini menurut saya, hehe "Menyongsong Mihwar Daulah".
Peran Akhwat Muslimah di Zaman Keemasan Islam
Sampai hari ini rujukan yang paling sangat kuat untuk memahami peranan akhwat muslimah dalam dakwah adalah pada zaman kenabian. Para akhwat muslimah yakni para shahabiyah Nabi memiliki peran yang sangat besar dalam berbagai aktivitas publik, termasuk dinamika dakwah dan jihad. Mereka tidak hanya berada dalam rumah untuk melakukan aktivitas domestik, namun terlibat pula dalam ranah publik. Bukan hanya peran dibelakang layar, namun dijumpai juga peran di depan layar. hmmmm... sangat menginspirasi, inilah yang telah mereka lakukan di zaman keemasan Islam:
1. Mengadu kepada Nabi SAW
Dialah Habibah binti Sahl, istri Tsabit bin Qais, dari beliau lah kita menjadi tahu seberapa jauh keterlibatan dan hak-hak sosial perempuan. Jadi ceritanya, pada saat itu perempuan lebih banyak berdiam diri di rumah, kendatipun mereka punya keterlibatan sosial dan politik. Maka, orang tualah yang aktif mencarikan jodoh bagi anak perempuan mereka. Habibah hanyalah salah satu contoh saja dari peristiwa tersebut. Bisa jadi bahwa peristiwa sebagaimana yang dialami oleh Habibah binti Sahl hanyalah satu contoh saja yang terungkap dalam lembaran sunnah.
Kisahnya bermula dari proses pernikahan Habibah yang dijodohkan oleh orangtuanya. Permasalahannya adalah, apakah ketika mengalami peristiwa "ketidaknyamanan" seperti Habibah, seluruh perempuan muslimah shahabiyah pada waktu itu berani menyampaikan aduan kepada Rasulullah? Atau, ketika ketidakcocokan dengan suami pilihan ayahnya terjadi, apakah semua muslimah cenderung memilih sikap untuk berpisah dengan suami, ataukah lebih bersikap diam "mengalah" dengan memaksakan diri berada dalam situasi seperti itu pada awalnya, untuk kemudian berharap akan bisa muncul sikap penerimaan yang baik terhadap realitas suaminya?
Sebenarnya, Habibah belum pernah sama sekali melihat suaminya sampai saat malam pertama datang, karena Ia dan sebagaimana perempuan di zamannya, sedemikian percaya kepada orang tua, sampai dalam masalah perjodohan. Dan pada malam itu, tak terpikir olehnya bahwa orang tuanya akan tega memilihkan suami seperti Stabit.
Ia mengungkapkan kekecewaannya secara langsung kepada Rasulullah SAW. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa istri Tsabit bin Qais telah datang kepada Rasulullah dan berkata: " Ya Rasulullah, aku tidak mencela akhlak maupun agama suamiku. Tetapi aku tidak menyukai kekufuran dalam Islam". Rasulullah bertanya "maukah engkau serahkan kembali kebun pemberian suamimu?" Ia menjawab "Ya". Maka Rasulullah bersabda, "Terimalah kebun itu (hai Stabit) dan jatuhkan talak satu kepadanya." (HR. Bukhari dan Nasa'i) Ini adalah kisah kejadian khuluk pertama kali dalam sepanjang perjalanan sejarah Islam.
Kisah khulu' di atas, hingga Habibah dikabulkan permohonan cerainya, bukan karena perangai Stabit yang buruk, bukan karena kekerasan dalam rumah tangga. Tak ada indikasi perbuatan zalim Tsabit dalam kisah di atas. Yang ada adalah ketidakcocokan Habibah terhadap bentuk fisik Tsabit yang digambarkan sebagai "sangat hitam kulitnya, sangat pendek tubuhnya, dan sangat buruk wajahnya". Kekhawatiran Habibah adalah perasaan tidak bisa menerima tersebut berkembang menjadi pembangkangan terhadap suami, sehingga bernilai kekufuran.
Seandainya pernikahan dengan model Habibah tersebut bertentangan dengan syariat Islam, tentulah Nabi telah melarangnya. Jadi, model pernikahan seperti itu pun, dimana pihak perempuan sama sekali belum bertemu dan melihat dengan pihak laki sebelum akad, bisa diterima syariat, kendati Islam telah memberikan anjuran untuk bertemunya laki-laki dan perempuan sebelum pernikahan terjadi. Jadi ukhti, sebelum akad harus ta'aruf dulu yaa, sesuai dengan syariat Islam :)
Jadi dari segi politik, Habibah telah memberi contoh salah satu perilaku musyarakah siyasiyyah, yaitu mengadu kepada kepala negara atas perasaan ketidaknyamanan yang dialaminya. Ia bukan sedang mengkhianati suami atau ayahnya, justru yang ia lakukan adalah sebuah cara "belajar mandiri" menemukan jati dirinya sebagai perempuan merdeka.
2. Menimba Ilmu dari Nabi SAW
Para akhwat shahabiyah Nabi terbiasa menghadiri majelis ilmu Nabi bersama kaum laki-laki. Mereka juga terbiasa bertanya tentang berbagai urusan, bahkan sampai hal yang sangat khusus bagi perempuan. Bayangkan ukhti, pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya khusus bagi perempuan tidak membuat mereka merasa terhalang oleh rasa malu untuk menyampaikannya kepada Rasulullah yang notabane nya seorang laki-laki. Itu karena mereka bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu.
Bahkan para akhwat shahabiyah minta diprioritaskan oleh Nabi atas kaum laki-laki. Mereka minta agar Rasul menyediakan hari khusus untuk para shahabiyah. "Ya Rasulullah, kaum laki-laki telah mempelajari berbagai ilmu darimu. sudikah engkau menyisihkan waktu satu hari untuk kami? Di hari itu kami akan datang kepadamu agar engaku mengajari kami tentang apa yang telah Allah ajarkan kepadamu.'
Beliau menjawab ' Tentukanlah hari dan tempatnya. Aku akan memenuhi permintaan kalian." Setelah itu, para shahabiyah berkumpul pada hari yang ditentukan. beliau datang dan mengajari mereka tentang apa yang telah diajarkan Allah kepadanya (HR Bukhari)
Dari kisah di atas tampaklah bahwa para shahabiyah terbiasa menimba ilmu secara rutin kepada Nabi, baik secara bersama dengan kaum laki-laki maupun dengan hanya perempuan
Ada pula kegiatan menuntut ilmu yang dilakukan secara perseorangan. Misalnya Asma' binti Syakl. Asma' pernah bertanya kepada Rasulullah mengenai tata cara mandi seusai haidh dan mandi janabat. Hingga Aisyah berkata, " Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Mereka tidak terhalang oleh rasa malu ketika mendalami masalah agama (HR. Muslim).
Bersambung......! :D
1. Mengadu kepada Nabi SAW
Dialah Habibah binti Sahl, istri Tsabit bin Qais, dari beliau lah kita menjadi tahu seberapa jauh keterlibatan dan hak-hak sosial perempuan. Jadi ceritanya, pada saat itu perempuan lebih banyak berdiam diri di rumah, kendatipun mereka punya keterlibatan sosial dan politik. Maka, orang tualah yang aktif mencarikan jodoh bagi anak perempuan mereka. Habibah hanyalah salah satu contoh saja dari peristiwa tersebut. Bisa jadi bahwa peristiwa sebagaimana yang dialami oleh Habibah binti Sahl hanyalah satu contoh saja yang terungkap dalam lembaran sunnah.
Kisahnya bermula dari proses pernikahan Habibah yang dijodohkan oleh orangtuanya. Permasalahannya adalah, apakah ketika mengalami peristiwa "ketidaknyamanan" seperti Habibah, seluruh perempuan muslimah shahabiyah pada waktu itu berani menyampaikan aduan kepada Rasulullah? Atau, ketika ketidakcocokan dengan suami pilihan ayahnya terjadi, apakah semua muslimah cenderung memilih sikap untuk berpisah dengan suami, ataukah lebih bersikap diam "mengalah" dengan memaksakan diri berada dalam situasi seperti itu pada awalnya, untuk kemudian berharap akan bisa muncul sikap penerimaan yang baik terhadap realitas suaminya?
Sebenarnya, Habibah belum pernah sama sekali melihat suaminya sampai saat malam pertama datang, karena Ia dan sebagaimana perempuan di zamannya, sedemikian percaya kepada orang tua, sampai dalam masalah perjodohan. Dan pada malam itu, tak terpikir olehnya bahwa orang tuanya akan tega memilihkan suami seperti Stabit.
Ia mengungkapkan kekecewaannya secara langsung kepada Rasulullah SAW. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa istri Tsabit bin Qais telah datang kepada Rasulullah dan berkata: " Ya Rasulullah, aku tidak mencela akhlak maupun agama suamiku. Tetapi aku tidak menyukai kekufuran dalam Islam". Rasulullah bertanya "maukah engkau serahkan kembali kebun pemberian suamimu?" Ia menjawab "Ya". Maka Rasulullah bersabda, "Terimalah kebun itu (hai Stabit) dan jatuhkan talak satu kepadanya." (HR. Bukhari dan Nasa'i) Ini adalah kisah kejadian khuluk pertama kali dalam sepanjang perjalanan sejarah Islam.
Kisah khulu' di atas, hingga Habibah dikabulkan permohonan cerainya, bukan karena perangai Stabit yang buruk, bukan karena kekerasan dalam rumah tangga. Tak ada indikasi perbuatan zalim Tsabit dalam kisah di atas. Yang ada adalah ketidakcocokan Habibah terhadap bentuk fisik Tsabit yang digambarkan sebagai "sangat hitam kulitnya, sangat pendek tubuhnya, dan sangat buruk wajahnya". Kekhawatiran Habibah adalah perasaan tidak bisa menerima tersebut berkembang menjadi pembangkangan terhadap suami, sehingga bernilai kekufuran.
Seandainya pernikahan dengan model Habibah tersebut bertentangan dengan syariat Islam, tentulah Nabi telah melarangnya. Jadi, model pernikahan seperti itu pun, dimana pihak perempuan sama sekali belum bertemu dan melihat dengan pihak laki sebelum akad, bisa diterima syariat, kendati Islam telah memberikan anjuran untuk bertemunya laki-laki dan perempuan sebelum pernikahan terjadi. Jadi ukhti, sebelum akad harus ta'aruf dulu yaa, sesuai dengan syariat Islam :)
Jadi dari segi politik, Habibah telah memberi contoh salah satu perilaku musyarakah siyasiyyah, yaitu mengadu kepada kepala negara atas perasaan ketidaknyamanan yang dialaminya. Ia bukan sedang mengkhianati suami atau ayahnya, justru yang ia lakukan adalah sebuah cara "belajar mandiri" menemukan jati dirinya sebagai perempuan merdeka.
2. Menimba Ilmu dari Nabi SAW
Para akhwat shahabiyah Nabi terbiasa menghadiri majelis ilmu Nabi bersama kaum laki-laki. Mereka juga terbiasa bertanya tentang berbagai urusan, bahkan sampai hal yang sangat khusus bagi perempuan. Bayangkan ukhti, pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya khusus bagi perempuan tidak membuat mereka merasa terhalang oleh rasa malu untuk menyampaikannya kepada Rasulullah yang notabane nya seorang laki-laki. Itu karena mereka bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu.
Bahkan para akhwat shahabiyah minta diprioritaskan oleh Nabi atas kaum laki-laki. Mereka minta agar Rasul menyediakan hari khusus untuk para shahabiyah. "Ya Rasulullah, kaum laki-laki telah mempelajari berbagai ilmu darimu. sudikah engkau menyisihkan waktu satu hari untuk kami? Di hari itu kami akan datang kepadamu agar engaku mengajari kami tentang apa yang telah Allah ajarkan kepadamu.'
Beliau menjawab ' Tentukanlah hari dan tempatnya. Aku akan memenuhi permintaan kalian." Setelah itu, para shahabiyah berkumpul pada hari yang ditentukan. beliau datang dan mengajari mereka tentang apa yang telah diajarkan Allah kepadanya (HR Bukhari)
Dari kisah di atas tampaklah bahwa para shahabiyah terbiasa menimba ilmu secara rutin kepada Nabi, baik secara bersama dengan kaum laki-laki maupun dengan hanya perempuan
Ada pula kegiatan menuntut ilmu yang dilakukan secara perseorangan. Misalnya Asma' binti Syakl. Asma' pernah bertanya kepada Rasulullah mengenai tata cara mandi seusai haidh dan mandi janabat. Hingga Aisyah berkata, " Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Mereka tidak terhalang oleh rasa malu ketika mendalami masalah agama (HR. Muslim).
Bersambung......! :D